Tampilkan postingan dengan label ormas NU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ormas NU. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Desember 2014

SANTRI ASWAJA VS GURU LIBERAL


SANTRI ASWAJA VS GURU LIBERAL

Guru Liberal : Murid muridku, jangan lupa, besok ucapkan selamat natal kepada umat nashrani ya..!!!
Santri Aswaja : Maaf pak guru,.. kami tidak mau..!!!

Guru Liberal : Lho gak apa apa kok, itu kan cuma kata kata..
Santri Aswaja : Sekali lagi maaf pak guru, saya takut batal, lagian ustadz kami tidak pernah menyuruh dan mengajarkan kami untuk mengucapkan selamat natal.

Guru Liberal : Ah,... masak cuma kata kata saja sampai sebegitunya.!!!
Santri ASWAJA : Pak guru sudah punya istri belum..???

Guru Liberal : Sudah. Kenapa kok kamu tanya seperti itu..???
Santri ASWAJA : Apakah Pak Guru mau atau berani untuk katakan kepada istri bapak kata cerai / talaq 3..???

Guru Liberal : Ya jelas tidak mau.!!!,
Santri ASWAJA : Lho kenapa pak..???

Guru liberal : Karena itu berarti akan melepaskan ( 'aqdun ) nikah sy dgn istri saya.
Santri ASWAJA : Lho, kan cuma kata kata..!!!

Guru Liberal : Ya benar, cuma kata kata, dulu aku menikah ijab qobul juga dengan kata kata, batalnya hubungan suami istri pun juga bisa dengan kata kata, tetapi itu benar benar akan memisahkan ikatan saya dengan istri saya , jika kata kata itu saya ucapkan.
Santri ASWAJA : Nah, .. jika ikatan dengan istri saja bisa lepas dengan kata kata dan pak guru tidak mau mngucapkannya ... Apalagi saya melepaskan ikatan ('aqdun ) kepada Allah,.. tentu saya lebih tidak mau..!!! Oleh karena itu, saya menolak mengucapkan kata kata itu kepada mereka.

*Santri ASWAJA lebih cerdas dari Guru liberal..!!!
NB : ASWAJA Tulen tidak ikut ikutan mengucapkan selamat natal. Hanya Liberal jejadian yang semangat untuk ikut ikutan mengucapkan selamat natal..!!!

Sumber : NU Garis Lurus
Aswaja VS Liberal 

Berita terkait  : 

Rabu, 17 Desember 2014

KUATNYA HUJJAH KEHARAMAN SELAMAT NATAL DAN MENJAGA GEREJA MENURUT MAZHAB SYAFI'I

http://materidienulislam.blogspot.com/2014/12/kuatnya-hujjah-keharaman-selamat-natal.html


KUATNYA HUJJAH KEHARAMAN SELAMAT NATAL DAN MENJAGA GEREJA MENURUT MAZHAB SYAFI'I

Oleh Muhammad Lutfi Rochman *Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Yaman (PCINU YAMAN)

Seperti beberapa tahun yang sudah berlalu menjelang akhir tahun bulan Desember selalu ramai di tanah air beberapa oknum yang mengatasnamakan NU berusaha menebar syubhat dikalangan masyarakat awam tentang ucapan selamat natal. Beberapa tokoh yang seharusnya menjadi teladan dan contoh justru mencari beragam dalih dan alasan pembenaran dengan mengkorupsi dalil untuk mengubah fakta haramnya ucapan natal menjadi "boleh" dengan alasan Islam rahmah, Islam toleran, Islam Tasamuh dsb yang sering di gembor- gemborkan kalangan liberal yang sembunyi dibalik nama besar NU. Lebih terlihat "mencari pembenaran" sebagian kalangan mencari alasan dengan kelakuan yang belum tentu syar'I dari beberapa tokoh yang "terlanjur" terkenal. Bahwa agama Islam bukanlah dibangun dengan ketokohan apalagi dizaman yang penuh fitnah ini, tetapi terbangun dengan 'Hujjah dan Landasan' yang kuat para ulama salaf terutama para ulama mazhab sebagaimana qonun asas dari Nahdlatul Ulama yang sudah ditetapkan oleh sang pendiri Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari Rahimahullah.

Untuk itu kami mendapat kesempatan bertanya kepada Mufti Mazhab Syafi'iyyah di Tarim Hadramaut Yaman, Salah satunya beliau As Syaikh Muhammad Ali Ba'udhon Asy Syafi'I. Berikut kurang lebih rangkuman percakapan kami tentang keharaman ucapan tahniah hari raya orang kafir.

سألت الشيخ محمد علي باعوضان : ياالشيخ هل تحريم تهنيئة لأعياد الكفار باﻹجماع أو فيه قول بجوازه ؟
فأجاب الشيخ : نعم حرام، فكيف ﻧﻬﻨﺌﻮﻥ ﺑﻌﻴﺪﻫﻢ ؟
أما قول بجوازه ففيه كلام ثاني. فتعجب الشيخ
قلنا : حتي يعتقدون بحلاله هل هم كفر؟ قال نعم
يا الشيخ بعض المسلمين في جاوى يعتادون ﺫﻟﻚ ﺑﻞ ﻳﺤﺮﺳﻮﻥ ﺍﻟﻜﻨﺎﺋﺲ ﻛﺎﻟﻌﺴﻜﺮ. لو رضيت سنرسل بعض المسائل معك إلي إندونيسيا فاشار برضاه فتعجب مرة ثانية قال نعوذ بالله من ذلك!
بل لا بد من بحث حديث من تشبه بقوم فهو منهم.

Kami bertanya kepada beliau tentang keharaman ucapan tahniah selamat perayaan hari raya kaum kuffar sudah ijma' atau ada qoul yang membolehkan ?

As syaikh pun terkejut dan meyakinkan keharamannya dan menyatakan agar tidak memperdulikan terhadap perkataan orang yang membolehkan.

Maka kami meminta kerelaan beliau untuk mengirimkan sebagian tanya jawab kepada beliau ke tanah Jawa Indonesia karena sebagian muslimin membiasakan ucapan selamat natal dan bahkan sebagian dari mereka menjaga gereja seperti barisan laskar dengan dalih toleransi.

Maka Syaikh kembali terkejut dan mengucapkan 'Na'uzdubillah' dan menegaskan kepada kami agar juga memasukkan pembahasan hadits "Barangsiapa menyerupai suatu kaum (Kafir atau Musyrik) maka dia merupakan bagian dari kaum tersebut".

Berikut ini kami lampirkan sumber dari kitab mu'tamad mazhab Syafi'I tentang keharaman tahniah hari raya kuffar bahkan para pelakunya berhak mendapat ta'zir (hukuman) dari pemerintahan Islam.

(فرع) يعزر من وافق الكفار في أعيادهم ومن يمسك الحية ومن يدخل النار ومن قال لذمي يا حاج ومن هنأه بعيده ومن يسمي زائر قبور الصالحين حاجا والساعي بالنميمة لكثرة إفسادها بين الناس الخ.

di ambil dari Bab hudud dan Ta'zir dari kitab ulama mazhab Syafi'iyyah sbb:

1. Al allamah Sayyid Alawi bin Ahmad Seggaf Asy Syafi'I dalam kitab Tarsyikh Al Mustafidin khasiyah Fathul Muin yang sangat masyhur di pesantren Indonesia (hal 88 cetakan Darul Fikr).

2. As syekh Sulaiman Al Jamal syarakh al manhaj karangan Syaikh Zakaria Al Anshori yang mendapat gelar Syaikhul Islam dalam mazhab Syafi'I.

As syekh Al Jamal menukil pendapat Imam Al Khalabi dari kitab Khasiyah syarah Al Mahalli alal minhaj kitab Imam An Nawawi dengan menyebutkan ta'zir dari sisi menyerupai orang kafir diperayaan hari raya mereka.

3. As Syekh Abdul Hamid As Syarwani As Syafi'I dalam kitab khasiyah Tukhfah Ala Minhaj karangan Ibnu Hajar Al Haitami yang pendapatnya merupakan rujukan teratas Mutaakhhirin Syafi'iyyah hingga hari ini terutama di wilayah Hijaz, Yaman, Syam, Kurdistan, Dagestan, Dan Semenanjung Asia hingga Indonesia.

4. As Syaikh Syamsuddin Muhammad Khotib As Syirbini dalam kitab Mughni Al Muhtaj. Syekh Khotib adalah murid Ar Romli Al Kabir yang masyhur mendapat gelar Al Walid. Ar Romli As Shogir putra beliau adalah pengarang Kitab Nihayatul Muhtaj yang pendapatnya merupakan rujukan mayoritas pengikut Syafi'iyyah dari Mesir hingga Haromain dan Semenanjung Afrika.

5. As Sayyid Al Bakri Satho dalam kitabnya I'anat At Tholibin Khasiyah Fathul Muin juga mengutip sebagian dari sisi menyerupai orang kafir. (Darul Ihya Turots Al 'Arobi hal 254 juz 4).

Penutup

Sesudah kami sebutkan dasar dan hujjah yang begitu kuat oleh para ulama kibar mazhab Syafi'I, Maka kami yang faqir ini mengajak kepada kaum muslimin Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi'i terutama Nahdliyyin agar mulai Desember tahun ini untuk berhenti membiasakan kebiasaan haram dan memalukan dengan ikut memeriahkan perayaan hari raya kaum kuffar seperti Natal, Nyepi, Waisyak dsb.

Toleransi yang benar sesuai contoh nabi adalah dengan tidak mengganggu perayaan ibadah mereka dan tetap berpegang teguh dengan Islam dan Ajarannya yang merupakan satu- satunya Diin yang hanya mendapat Ridho Allah SWT. Wallahu Alam.

*Penulis Adalah Salah Satu Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Yaman (PCINU YAMAN)
Sumber FP :  Pondok Pesantren Al - Anshory Tulusrejo Grabag Purworejo 
                    NU Garis Lurus bersama Muchammad Nawawi As Sholchah
  
Berita terkait :

Rabu, 15 Oktober 2014

Nusron Wahid, Aswaja Terapan dan Tongkat Nabi Musa



Beberapa politisi itu terus menjadi ular, tidak mau kembali menjadi tongkat dan lupa pada NU

DALAM acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TVOne Selasa, 14Oktober 2014 bertema “FPI Menyerang Ahok Melawan” Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Pemuda (GP Ansor) Nusron Wahid mengeluarkan statemen kontroversial. Pria asal Kudus Jawa Tengah ini menyatakan, hukum konstitusi itu lebih tinggi dari hukum agama.

“Di atas hukum agama dan adat, ada konstitusi negara,” demikian ujar Nusron di acara yang dipandu oleh Karni Ilyas tanpa kehadiran Ahok itu.

Ia juga sempat mengatakan, “Kita orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia.” Mungkin ia mengarahkan, kenegaraan harus diutamakan daripada keimanan itu sendiri.

Pernyataan ini tentu menggelinding bak bola panas, memicu pro kontra, baik dari orang Nahdhatul Ulama (NU) struktural maupun kultural. Paling tidak itu terjadi di beberapa media sosial yang saya ikuti.
Belajar dari kasus ini, juga kejadian serupa yang juga dilakukan sebagian oknum-oknum yang mengatasnamakan NU, nampaknya organisasi NU membutuhkan “Aswaja Terapan”. “Aswaja Terapan” adalah panduan Ahlus Sunnah, yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas, sebagaimana dipakai rujukan NU.

Panduan ini, berisi klausul-klausul, berikut syarah (penjelasan)nya, yang mengikat bagi seluruh pengurus, banom, lajnah dan lembaga, bahkan politisi yang mengaku sebagai orang NU. Hal ini juga untuk mencegah agar NU tidak hanya menjadi kendaraan politik dan alat pragmatisme politisi, yang hanya ‘mengaku-ngaku’ sebagai orang NU pada saat musim pencalonan atau pemilihan.

Rujukan “Aswaja Terapan” itu adalah Qanun Asasi, AD/ART, khiththah nahdliyah, fikrah nahdliyyah, dan hasil ijtihad (aqwal) ulama yang mu’tabar atau diakui di lingkungan NU. Isinya meliputi standar organisasi mengenai akidah, amaliah, mu’amalah, politik (siyasah), juga standar tasawwuf dan thariqah yang diakui oleh organisasi Islam terbesar di Indonesia ini.

Sebagai aplikasinya, pengurus NU dalam semua tingkatannya, yang perilaku, ucapan, dan pemikirannya melanggar poin-poin “Aswaja Terapan” tersebut, harus diberi nasihat, bimbingan, atau tindakan, baik secara organisasi, bahkan syar’i.

Contoh praksisnya seperti ini. KH As’ad Syamsul Arifin, tokoh yang disegani nahdliyyin itu pernah melakukan mufaraqah dengan NU di bawah kepemimpinan Gus Dur.

Ibarat imam shalat, Gus Dur dalam pandangan Kiai As’ad sudah batal. Nah, “Aswaja Terapan” itu semacam kumpulan aturan tentang syarat sah wudhu dan shalat, rukun wudhu dan shalat, serta hal-hal yang dapat membatalkanya. Ia menjadi suatu payung hukum dan aturan jelas untuk menilai sah dan batalnya ke-NU-an seseorang menurut standar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah an-Nahdliyyah.

Apakah hal itu mungkin?

Tentu, penyusunan -apalagi penerapan- “Aswaja Terapan” dalam semua lini kehidupan pengurus dan warga NU ini membutuhkan usaha keras.

Namun, data mengenai hal itu bukannya tidak ada. Salah satu contoh, hasil-hasil Bahtsul Masail mulai tingkat pusat sampai bawah begitu berkelimun. Di sana ada produk pembahasan yang ilmiah mengenai akidah, mu’amalah, siyasah syar’iyah, hubungan antar warga dengan negara, status Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentang ulil amri, dan sebagainya.

Selain produk Lembaga Bahtsul Masail, NU memiliki data lainnya. Antara lain qanun asasi dan Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah karya Hadlratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Demikian pula karya para kiai lainnya tentang tema Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan ke-NU-an.

Dus, itu semua adalah data mentahnya. Produk jadinya adalah “Aswaja Terapan” yang ‘memiliki kekuatan hukum’ di ranah NU.

Maka di kemudian hari, orang NU yang ucapan dan perilakunya ‘tidak NU’, selain akan diberi bimbingan dan tindakan tertentu, berdasarkan “Aswaja Terapan” itu dia tidak dapat dikatakan mewakili NU. Dia hanya dinilai sedang mengeluarkan pendapat pribadi, atau akan dianggap sebagai oknum. Keberadaan dan penerapan “Aswaja Terapan” sekaligus akan menjadi jawaban tidak langsung atas stigma negatif terhadap NU, karena perilaku sebagian kecil ‘oknum’ NU.

Panduan ini perlu diberikan mengingat penerapan kader NU yang dikenal berkarakter tawassuth, tasamuh, tawazun, seperti saat ini sangat bias. Orang Jawa bilang, sak karepe dewe-dewe (menurut penafsiran sendiri).

Politisi NU terkadang juga masih bingung, bagaimana menerapkan ke-aswaja-annya untuk keputusan-keputusan dari balik meja pemerintahan dan birokrasi.

Dalam acara pelantikan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Malang yang saya ikuti, Rais Syuriah PWNU Jatim KH Miftahul Achyar pernah menganalogikan orang NU yang terjun ke dunia politik itu, ibarat tongkat Nabi Musa yang berubah menjadi ular untuk suatu misi tertentu.

Namun sayang, kritik beliau, tidak seperti tongkat Nabi Musa, beberapa politisi itu terus menjadi ular, tidak mau kembali menjadi tongkat. Lupa pada NU, lupa pada Aswaja-nya. Tinggallah politik pragtisnya.

Itu di kancah politik. Belum lagi pemikiran-pemikiran ‘orang NU’ yang kekiri-kirian, berpaham liberal, atau tasyayya’ (berpaham atau mendukung Syi’ah).

Saya tidak mengatakan semua, pengurus hanya membaca dan berusaha memahami AD/ART tiap 5 tahun, 4 tahun, 3 tahun, atau 2 tahun sekali. Lebih tepatnya saat pemilihan pimpinan di Pengurus Besar, Wilayah, Cabang, MWC, atau Ranting. Itupun yang dibaca hanya pasal-pasal mengenai pemilihan rais dan ketua.

Penerapan Aswaja Terapan yang disepakati dan berlaku menyeluruh secara nasional, juga PCI-PCI NU di luar negeri ini berada di bawah kendali Mustasyar dan Syuriah, sesuai dengan Pasal 21 tentang Tugas dan Wewenang Pengurus.

Pasal tersebut berisikan ayat-ayat:

(1) Mustasyar mempunyai tugas dan wewenang:

a. secara kolektip menyelenggarakan musyawarah setiap kali dianggap perlu, menjaga kemurnian Khittah Nahdliyah dan memberikan pertimbangan/nasehat kepada pengurus NU, baik diminta atau tidak diminta;
b. secara pribadi-pribadi dapat memberikan nasehat, binaan dan bimbingan serta membai’at Pengurus Tanfidziyah.

(2) Pengurus Syuriyah selaku pimpinan, pengendali dan pengelola mempunyai tugas:

a. menentukan arah kebijaksanaan jam’iyah NU dalam melakukan usaha dan tindakannya untuk mencapai tujuan NU;
b. memberikan petunjuk, bimbingan dan pembinaan dalam memahami, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam menurut faham Ahlus Sunnah wal Jamaah dan al-Madzahibil Arba’ah, baik di bidang aqidah, syari’ah maupun akhlaq/tasawuf;
c. mengendalikan, mengawasi dan memberikan koreksi terhadap semua perangkat jam’iyah agar pelaksanaan program-program NU berjalan di atas ketentuan jam’iyah dan Agama Islam;
d. membimbing, mengarahkan dan mengawasi badan-badan otonom yang langsung berada di bawah Syuriyah.

(3) Apabila keputusan suatu perangkat NU dinilai bertentangan dengan ketentuan jam’iyah, terutama ajaran Islam, Pengurus Syuriyah atas keputusan rapatnya dapat membatalkan keputusan ataupun langkah perangkat tersebut.

Akhirul kalam, apapun produk ‘ijtihad’ organisasi ini, termasuk “Aswaja Terapan” nanti, tentu yang penting adalah penegakannya.Wallahu a’lam.*

Oleh: Faris Khoirul Anam
Penulis adalah pengurus Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

* Selanjutnya sejauh mana usaha NU untuk mengembalikan/ mendidik menyadarkan ular-ular tesebut untuk kembali menjadi tongkat, menjaganya supaya tidak berkembang biak, supaya tidak merusak aqidah warga NU dan Umat Islam secara keseluruhan.

  Terkait :