Ia dikhitan (disunat) di saat usianya telah mencapai 68 tahun.” Mana ada orang yang sunat umur 68 tahun kecuali Raja Irian : Ismail Yenu”
Al-Islam - Mulanya ia seorang pendeta. Bermodal ilmu yang ia timba dari pendeta Jostri Ayome selama empat tahun di Jayapura, Papua, ia mulai rajin berceramah di gereja. Ia resmi dilantik menjadi pendeta pada tahun 90-an.
Alasannya menjadi pendeta sederhana saja. Sebagai seorang kepala suku, ia merasa bertanggungjawab menyelamatkan ideologi rakyatnya. “Rakyat harus beragama dan mengenal Tuhan. Jadi, saya harus belajar agama sebagai tanggung jawab tadi,” kata Ismail Saul Yenu, sang pendeta itu.
Banyak yang heran mengapa Yenu menjadi pendeta. Sebab di Papua tak banyak kepala suku bisa merangkap menjadi pendeta.
Yenu tahu, posisinya sebagai kepala suku akan memudahkan nya mengambil hati rakyat untuk masuk Kristen. Dugaannya benar. Banyak warga Papua, baik pendatang maupun penduduk asli, termasuk lima keluarga Muslim, masuk Kristen. Kebanyakan mereka adalah transmigran yang hidup di hutan.
“Waktu itu ada yang sakit dan berhasil saya sembuhkan dengan doa. Karena itu mereka masuk Kristen,” cerita Yenu tentang keluarga Muslim ini. Namun, perjalanan hidup berkata lain. Yenu sang kepala suku mendapat hidayah dan sempat menunaikan ibadah haji. Sepulang dari haji ia disambut oleh rakyatnya dengan teriakan, ”Raja sudah datang … raja sudah datang!” Uniknya, yang menyambut bukan hanya kaum Muslim saja, tapi banyak juga orang Kristen.
Kesempatan ini tak disia-siakan Yenu. Jika dulu ia rajin berceramah di gereja, maka sekarang ia rajin berdakwah untuk Islam. Banyak yang kepincut hatinya untuk mengucap syahadat lewat dakwah Yenu, termasuk keluarga Muslim yang dulu ia murtadkan. Semua ini ia lakukan untuk menebus tanggungjawab yang dulu salah ia terjemahkan.
Bagaimana lika-liku dakwah sang kepala suku di pulau paling timur Indonesia ini? hidayatullah, menemui pria asli Irian ini di rumahnya di Fakfak, Papua Barat.
Mengapa Anda tertarik dengan Islam?
Meski saya ini dulunya pendeta, tapi diam-diam saya suka mengamati perilaku orang Islam. Saya tertarik melihat orang Islam rajin shalat dan berdoa. Mereka shalat lima kali dalam sehari.
Ini berbeda dengan cara non-Muslim. Mereka hanya berdoa sekali sepekan, atau jika ada acara sembahyang keluarga. Ini menunjukkan kalau orang Islam itu punya Tuhan yang luar biasa. Saya lalu bertanya, mengapa mereka bisa berdoa sedang saya tidak? Dari sinilah saya mulai tertarik dengan Islam.
Apakah Anda punya pengalaman berkesan tentang Islam ketika masih beragama Nasrani?
Ya. Ketika tahun 70-an, di daerah saya ada program ABRI masuk desa yang dipimpin Jenderal M Yusuf. Semua orang berkumpul, mulai dari militer sampai sipil.
Sebagian besar tentara adalah orang Islam. Sedang orang Nasrani kebanyakan sipil.
Ketika apel siaga, Pak Yusuf bertanya, mana orang Islam yang siap membantu rakyat? Serempak orang Islam berdiri, sedang kami orang Nasrani cuma duduk saja.
Lalu Jenderal Yusuf bertanya kepada saya tentang agama yang saya anut. Saya jawab Nasrani. Tapi beliau bilang, ”Dari pada kamu nanti hanya di luar, tak dapat jatah surga, lebih baik ikut begabung dengan mereka (orang Muslim).” Akhirnya entah mengapa saya ikut berdiri juga.
Setelah tertarik dengan Islam, siapa yang membimbing Anda memeluk agama ini?
Saya mencari kebenaran itu sendiri. Saya pernah mencarinya ke Manokwari (Papua Barat), malah diusir dan ditolak. Tapi saya tak marah. Saya kembali mencarinya ke Jakarta. Di Jakarta saya bertemu banyak rekan-rekan sesama Muslim, termasuk Ustadz Fadzlan (M Zaaf Fadzlan Rabbani al-Garamatan, tokoh Papua yang banyak membantu kaum Muslim di daerahnya). Saya banyak dibantu oleh mereka.
Kapan Anda bersyahadat?
Tahun 2002, di Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran, Jakarta. Saya dibimbing oleh seorang imam masjid di sana . Esok harinya saya langsung minta dikhitan (sunat). Padahal umur saya sudah 68 tahun. Mana ada di dunia ini orang yang sunat umur 68 tahun kecuali Ismail Yenu. Hehe he.
Bagaimana cerita Anda pergi haji?
Esok hari setelah saya dikhitan, saya telepon Dr Amin Rais (tokoh Muhammadiyah) dan minta dihajikan. Saya juga cerita keadaan masyarakat Irian. Saya katakan bahwa saya tak mampu pulang dan berdakwah di tengah masyarakat Irian jika belum naik haji. Sebab, biasanya masyarakat tak langsung percaya kalau langsung mendakwahi.
Alhasil, Amien Rais menelepon Din Syamsuddin (Ketua PP Muhammadiyah), menanyakan apakah ada “lowongan” ke Baitullah. Alhamdulillah, rupanya ada calon haji yang batal berangkat di kloter Asiyah. Kloter ibu-ibu yang berjumlah 240 calon jamaah haji. Meski terasa risih karena harus bergabung dengan ibu-ibu, akhirnya saya jadi diikutkan di kloter tersebut.
Bagaimana perasaan Anda ketika itu?
Saya merenung, mengapa baru beberapa hari menjadi muallaf langsung mendapatkan panggilan agung dari-Nya untuk naik haji? Ini karena kebesaran dan izin Allah semata.
Tiga hari berikutnya saya berangkat haji. Padahal waktu itu bekas khitan saya belum kering betul. Saya pergi ke dokter praktik dan beli kondom.
Sebelum berangkat, seluruh calon haji diperiksa. Rupanya saya ketahuan membawa kondom. Setelah ditanya, saya jawab kalau bekas khitan saya masih basah. Karena tak percaya, saya diperiksa lagi oleh dokter.
Ada kenangan menarik sewaktu naik haji?
Di Arafah, kami berdoa mulai pagi hingga siang hari. Padahal, udara dan cuaca ketika itu sangat panas. Seakan-akan tubuh ini terpanggang teriknya matahari.
Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, ada yang menyiram tubuh saya hingga basah kuyup. Pakaian saya basah semua. Saking basahnya, sampai-sampai saya berdoa sambil menghirup air.
Seketika itu juga saya jadi adem, tak merasa panas lagi. Padahal saat itu jumlah manusia berlapis-lapis. Rasanya tak mungkin kalau ada orang yang datang menyiram saya.
Sewaktu di Masjid al-Haram, ada seorang perempuan besar duduk di sebelah saya. Padahal, jamaah pria tak boleh bercampur dengan jamaah wanita. Saking besarnya, tinggi pinggul wanita itu mencapai bahu saya. Saya merasa ngeri sekali.
Usai berdoa, saya terfikir mau menegur dia. Begitu menoleh, eh, si wanita tadi sudah lenyap entah ke mana. Padahal tubuhnya besar sekali.
Di Masjid Nabawi, suasana sangat padat. Tak ada lagi ruang kosong di dalam masjid. Begitu masuk, rupanya ada tempat lowong yang kira-kira muat untuk dua orang.
Saya jadi heran mengapa tak ada yang melihat tempat tersebut. Padahal sejak tadi jamaah sudah berebutan tempat.
Sementara saya shalat, tiba-tiba ada orang datang dengan jubah yang sangat bagus. Kainnya sangat lembut. Kualitas baju saya kalah jauh dibanding dia. Padahal baju saya juga masih baru, istilahnya baru buka plastik.
Seperti kejadian pertama, begitu saya mau menegur, orang yang dimaksud sudah lenyap entah ke mana.
Apa makna dari semua kejadian tersebut buat Anda?
Keyakinan saya semakin bertambah. Allah SUbhanahu Wata’ala tak akan pernah lalai memantau segala kelakuan hamba-Nya. Keyakinan saya makin mantap jika agama Islam ini benar-benar agama Allah. Kita tak boleh main-main dengan agama ini. Rekan sesama Muslim, termasuk Ustadz Fadzlan (M Zaaf Fadzlan Rabbani al-Garamatan, tokoh Papua yang banyak membantu kaum Muslim di daerahnya). Saya banyak dibantu oleh mereka.
Apa yang Anda lakukan setelah pulang dari Tanah Suci?
Saya tak langsung pulang ke Manokwari, tapi mampir dulu ke Kalimantan Timur selama 14 hari. Saya mengunjungi Balikpapan, Bontang, dan beberapa daerah lain bersama Ustadz Kodiran (orang Yogyakarta yang tinggal di Condet, Jakarta Timur). Kami berdakwah di tempat-tempat itu sekaligus menyaksikan kebesaran Islam.
Bagaimana tanggapan keluarga Anda sepulang dari haji?
Tiba di rumah saya langsung disambut bagai raja oleh masyarakat setempat dengan upacara adat. Saya diminta menginjak 120 buah piring yang ditaruh di jalan menuju rumah.
Apa yang Anda lakukan setelah masuk Islam?
Saya pernah mendatangi gereja saat sang pendeta khutbah. Tanpa tedeng aling-aling, sambil mengenakan gamis dan songkok haji, saya langsung meminta sang pendeta berhenti berkhutbah. Saya ajak mereka semua masuk Islam. Saya berani melakukan itu karena dulu mereka adalah jamaah saya, termasuk lima keluarga murtad yang pernah saya baptis.
Bagaimana tanggapan keluarga setelah Anda menjadi Muslim?
Saya katakan, “Maaf, saya tak seperti dulu lagi. Kalau mama masih suka pake baju singlet atau celana pendek, berarti tak boleh mendekat. Silakan pergi tukar baju dulu. Kepala juga harus ditutup pakai kerudung. Kalau tidak begitu, maaf saja.”
Sebelumnya saya telah menyiapkan oleh-oleh pakaian dari Tanah Suci sebanyak 40 pasang. Masing-masing isteri saya mendapat 10 pasang (Yenu memiliki empat isteri). Saya juga minta tolong teman untuk memberi pemahaman Islam kepada para istri saya.
Setelah Anda memeluk Islam, apakah orang-orang yang pernah Anda murtadkan ikut kembali memeluk Islam?
Sebagian besar mereka masuk Islam lagi. Memang ada sebagian kecil yang tetap bertahan (dengan agamanya), namun jumlahnya tak banyak. Malah ada yang beranggapan, waktu masih pendeta saja doa saya dikabulkan oleh Tuhan, apalagi sekarang setelah masuk Islam dan pulang dari Tanah Suci.
Tapi saya katakan kepada mereka bahwa segala sesuatu itu hanya Allah yang mengatur. Manusia cuma bisa berkehendak saja.*
Rep: Ahmad Damanik
Editor: Cholis Akbar
Sumber : Hidayatullah.com
Berita Terkait :
- Kisah Nyata : Pastur yang Sangat Benci Islam Ini Akhirnya Memeluk Islam
- ARTIS MUDA INDIA MASUK ISLAMPerancis Heboh, Anggota FN (Partai Front Nasional) Maxence Puttey, Masuk Islam Bahkan Mendakwahkannya Terang-terangan.
- Christian Science Monitor: Mereka Memilih Menjadi Mualaf Karena Merasa Damai dengan Islam
- Perjalanan Berliku Wanita Cantik Australia Jadi Mualaf
- ARTIS Penyanyi Marcell Siahaan Memeluk Islam
- Ibrahim Sily : Kisah Aneh Pendeta Masuk Islam
- Nostalgia Puasa Pertama Seleb Mualaf
- Abraham David Mandey : Pendeta yang mendapat Hidayah Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar