PARA wanita Jepang semula punya siklus lahir, besar, lulus perguruan tinggi, menikah, berhenti kerja dan mengurus anak.
Ini bukannya wanita tidak ingin berkarier. Masalahnya adalah setelah melahirkan, gaji mereka--bahkan yang bekerja di bank--tidak cukup untuk membayar baby sitter. Boleh dititip ke tempat penitipan bayi tapi setelah usianya di atas dua tahun. Maka, wanita Jepang memilih mengurus anak, membesarkan mereka hingga sukses. Soal berikutnya muncul, anak-anak yang dibesarkan dengan susah payah itu semakin sukses semakin jauh dari orang tua.
Usia harapan hidup di Jepang sangat tinggi, termasuk salah satu yang tertinggi di dunia. Usia harapan hidup bahkan di atas 80 tahun. Artinya, setelah pensiun sebagai karyawan pada usia 65 tahun, orang tua Jepang masih harus menjalani hidup sekitar 15 tahun dengan menikmati hidup sebagai pensiunan atas biaya pemerintah. Lama-lama, jumlah pensiunan membengkak, jumlah anggaran pemerintah kian terbatas. Walhasil, jumlah tunjangan pensiunan makin turun. Lalu, orang-orang tua itu hidup di panti jompo, sementara anak-anak mereka menikmati kesuksesan. Para wanita bertanya: lalu untuk apa punya anak? Pertanyaan berikut sudah bisa ditebak. Untuk apa menikah? Pertanyaan tersebut menemukan jawaban berikut: para wanita ogah menikah, enggan punya anak. Mereka memilih karier.
Itulah yang terjadi di Jepang saat ini. Para wanita lebih senang menghabiskan waktu di kantor, membangun karier, dan hidup mandiri. Lama-lama, jumlah wanita lajang makin meningkat. Dampak ikutannya, jumlah bayi yang lahir semakin berkurang.
Datanglah ke Tokyo. Sangat jarang kita menemukan wanita hamil atau bayi di tempat-tempat keramaian. Sebagian besar pemandangan adalah para wanita mandiri, yang modis, dan tidak takut ke McD atau resto tengah malam, seorang diri. Gejala itu mendorong struktur usia penduduk Jepang makin tua. Anak-anak masa depan Jepang makin berkurang jumlahnya. Seperti piramida terbalik.
Setiap tahun, ada saja taman kanak-kanak yang tutup karena kekurangan siswa. Sebaliknya, panti jompo--yang banyak mempekerjakan warga Indonesia dan Filipina--semakin bertambah jumlahnya. Pemerintah yang risau mendorong para wanita untuk menikah dan punya anak. Stasiun TV didorong untuk menayangkan berita-berita tentang nikmatnya membangun keluarga. Satu keluarga beranak 10 merupakan berita besar bagi TV Jepang.
Sambil imbauan itu belum memperlihatkan hasil, toko-toko anjing, toko pakaian anjing, dan tempat penyewaan anjing seperti Dogy Park di jalan menuju Gunung Fuji tumbuh subur. Bahkan banyak sekolah khusus untuk anjing. Kenapa begitu? Ya, karena anjing merupakan kawan favorit para wanita lajang Jepang. Alangkah beruntungnya anjing-anjing di Jepang.
Oleh Dahlan Dahi | TRIBUNnews.com – Jum, 2 Des 2011 14.20 WIB
Baca Juga :
Wanita Cina Pilih Tak Menikah
Laporan Wartawan Tribunnews.com Jepang, Dahlan Dahi
Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar