Rabu, 14 Desember 2011

Bunuh Diri jadi salah satu solusi Financial Tsunami (krisis keuangan global)

Case #1

Krisis ekonomi yang melanda AS telah memicu banyak orang berpikiran
pendek. Beberapa di antaranya memilih bunuh diri untuk mengatasi
masalahnya.

Kasus terbaru paling menggemparkan ketika seorang menejer keuangan di
California membunuh enam angota keluarganya lalu bunuh diri karena stres
tak kunjung mendapatkan pekerjaan, pekan lalu. Kasus lain, seorang
janda berusia 90 tahun menembak dadanya sendiri saat petugas datang
untuk menyita rumah yang telah ia tempati selama 38 tahun.

Di Massachusetts, seorang ibu rumah tangga mengirimkan pesan kepada
sebuah perusahaan hipotek: "Jika saat ini Anda menyita rumahku, saya
akan mati." Wanita bernama Carlene Balderrama itu kemudian menembak
dirinya hingga tewas. Ia meninggalkan sebuah polis asuransi dan pesan
bunuh diri di atas meja. Switchboard Miami mencatat terdapat lebih dari
500 permintaan sita tahun ini.

Kini, Pemerintah AS cemas krisis keuangan akan meningkatkan aksi
kekerasan dan bunuh diri. Karena itu, pemerintah meminta warga yang
mengalami masalah segera meminta bantuan. Di beberapa tempat, seperti
dilaporkan CNN, Selasa (14/10), hotline kesehatan mental dibanjiri
pelanggan. Pelanggan layanan jasa konseling juga meningkat.

"Saya mendengar banyak orang mengatakan ini (krisis) paling mencemaskan
setelah 9/11 (serangan teroris di WTC menewaskan 3.000 orang)," kata
Pendeta Canon Ann Malonee dari Trinity Church di New York.

Ketika tidak ada lagi tempat mengadu, banyak orang menelepon hotline
pencegahan bunuh diri. Sebuah hotline pencegahan bunuh diri, Samaritans
New York, mencatat ada peningkatan penelepon sebanyak 16 persen
dibandingkan tahun lalu. Banyak di antaranya karena kasus ekonomi.

"Banyak orang mengadu kepada kami, mereka kehilangan segalanya. Mereka
kehilangan rumah mereka, mereka kehilangan pekerjaan," kata Virginia
Cervasio, direktur eksekutif pusat pencegahan bunuh diri di Lee County,
Florida tenggara.



Case #2

Situasi ekonomi yang suram dituding sebagai penyebab meningkatnya
gelombang bunuh diri di Korea Selatan, situasi yang mengulang dampak
krisis finansial Asia pada 1997-1998 di negara itu.

Para pakar kesehatan di Negeri Ginseng itu menyatakan, sakit mental juga
telah merebak di tengah terjungkalnya pasar saham belakangan ini.
Kantor berita Yonhap melaporkan, seorang pria berusia 47 tahun di
Gwangju, barat daya Korsel, melakukan bunuh diri pada pekan lalu setelah
menderita kerugian besar dalam investasinya di pasar saham.

Ia ditemukan tergantung di kamar mandi apartemennya pada Jumat lalu,
kata Yonhap mengutip laporan polisi setempat. Pria itu menanam modal di
pasar saham dengan nilai 370 juta won atau sekitar Rp 3 miliar, dua
tahun lalu. Namun, pria itu mengalami kerugian dua pertiganya dari
modalnya akibat jatuhnya pasar saham.

"Mereka yang mengalami depresi cenderung menyalahkan diri sendiri bila
segala hal menjadi kacau. Mereka menyiksa diri akibat kehancuran pasar
saham sekalipun krisis itu merupakan krisis global," kata pakar.

Bertindak atas petunjuk keluarganya, polisi menemukan pria itu menulis
surat pemberitahuan bunuh diri di mobilnya yang diparkir di tempat sepi,
dengan seutas kabel melingkar di lehernya. Istrinya dapat diselamatkan
setelah minum pil tidur di rumahnya.

Pada 9 Oktober, Korea Times melaporkan seorang karyawan perusahaan jasa
keamanan berusia 32 tahun ditemukan gantung diri di sebuah penginapan di
Seoul. Pria itu juga diduga bunuh diri terkait tumbangnya pasar saham.

"Suami saya terus berkata dirinya bersalah di depan keluarga dan ingin mati saja," kata istrinya kepada polisi.

Pada hari yang sama, polisi berhasil menggagalkan upaya bunuh diri
sepasang suami-istri berusia 60 tahunan, tulis surat kabar itu. Mereka
meminjam 100 juta won dari sebuah perusahaan sekuritas pada Oktober lalu
dan menanamkannya semua di pasar modal dan modal mereka amblas
seketika.

"Sekitar 20 persen pasien saya mengeluhkan kepedihan yang mendalam
akibat kejatuhan pasar saham. Itulah alasannya mengapa mereka mengalami
depresi," kata Ha Jee-Hyun, seorang psikiater di RS Universitas Konkuk.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan pekan lalu bahwa krisis
ekonomi global kemungkinan akan menyebabkan naiknya angka bunuh diri dan
sakit jiwa, dengan banyak orang sedang berjuang mengatasi kerugian
akibat disitanya rumah mereka atau lenyapnya penghasilan mereka

1 komentar: