Selasa, 06 Desember 2011

Mualaf Latin di Amerika



Perasaan aneh dulu selalu dirasakan Jackie Avelar setiap kali terbangun saat subuh. Jam beker bersuarakan adzan lima kali sehari semalam, yang selalu membangunkannya dari tidur, tergeletak di satu pojokan ranjang.

Di pojok lain, sebentuk patung kecil Bunda Maria berlingkarkan rosario, lembut menatapnya. Sebagai seorang muslimah, sudah lama Jackie ingin menyingkirkan patung tersebut. Tapi dengan darah latin yang mengalir di tubuhnya, itu tak mungkin ia lakukan. Ayahnya, seorang penganut Katolik yang taat asal El Salvador, menginginkan patung itu tetap berada di sana. ''Saya merasa harus menghormati beliau,'' kata Jackie. Akhirnya, Jackie menemukan sendiri jalan tengah yang dirasanya nyaman: patung itu ditutupnya dengan foto keluarga besarnya.

Hingga kini, wanita 31 tahun itu mengaku masih harus berjuang dengan banyak hal. Berjuang menemukan keseimbangan dalam keluarga, berupaya nyaman berhadapan dengan dunia luar. Bahkan terus melawan dirinya sendiri.

Wajar saja, sebelumnya, Jackie tumbuh sebagai 'gadis pantai yang ceria'. Mengenakan tank-top layaknya gadis-gadis muda, saling menyentuh dengan lawan jenis dalam irama salsa yang panas. Kini, Jackie Avelar adalah tipikal seorang muslimah 'konservatif' yang memilih berbusana muslim dan menghindari pergaulan terbuka dengan laki-laki.

Jackie adalah muslim pertama di keluarga besar yang tak pernah mengenal agama selain Katolik itu. Perjalanan keluar dari negeri asal, yang membuat Jackie, juga ribuan imigran Amerika Latin lainnya, menemukan agama yang mereka rasakan cocok. Beberapa ratus diantaranya bertempat tinggal di wilayah Washington. Lainnya tersebar di seluruh Amerika.

Jumlah persisnya? Tak bisa dipastikan, tetapi diperkirakan antara 40 ribu hingga 70 ribu jiwa. Diduga, proses peralihan agama itu dipermudah dengan maraknya beredar Al Qur'an berbahasa Spanyol, majalah-majalah ke-Islaman, serta website. Tetapi, dengan memeluk agama baru itu, para imigran Latin tersebut langsung harus menghadapi perjuangan baru -- diskriminasi terhadap muslim, apalagi setelah peristiwa 11 September. ''Kadang timbul perasaan seolah mengkhianati jati diri, seolah meninggalkan keluarga besar,'' kata Jackie, perempuan bertubuh kecil, bersuara lembut, dengan muka bulat itu.

Para mualaf itu datang dari seantero Amerika Latin. Mereka umumnya beralasan, dalam Islam mereka menemukan kesalehan dan kesederhanaan yang tidak ditemukan dalam Katolikisme. Selain itu, sebagaimana keterikatan yang kuat dalam budaya Latin, Islam menekankan pentingnya keluarga. ''Hal itulah yang membuat para mualaf itu gampang beradaptasi,'' kata Jackie.

Sebagian lainnya termotivasi akibat perasaan terasing sebagai imigran di negeri orang. Apalagi umumnya para wanita Latin itu merasa betapa budaya barat -- termasuk budaya yang membesarkan mereka, begitu masokis. Lain lagi dengan Priscilla Martinez. Peralihan agama yang dialami generasi ketiga imigran asal Meksiko itu diawali dengan pertanyaan.

Dibesarkan di Texas, bukan sekali dua Martinez bertanya kepada para pastur tentang kepercayaan Trinitas -- Allah Bapa, Anak, dan Ruh Kudus -- dalam Katolikisme. Menurut pengakuannya, jawaban apapun yang diberikan para pendeta itu tidak pernah memuaskannya.

Pertanyaan itu kemudian berkembang, hingga akhirnya, ''Saya merasa tak punya hubungan apapun dengan Tuhan,'' kata Martinez, yang kini tinggal di Ashburn, bersama suami dan anak-anak mereka. Perkenalan Martinez dengan Islam sendiri berawal saat ia kuliah di University of Texas. Bermula dari kursus tentang sejarah Timur Tengah, dilanjutkan dengan aneka kegiatan kemahasiswaan yang melibatkan para mahasiswa muslim di universitas tersebut, pada akhir tahun pertamanya itu Martinez langsung mengucap syahadat. Dan itulah awal perjuangannya. Saat memberitahu keluarga yang merasa aneh dengan tingkah laku dan pakaian yang dikenakannya, kontan Martinez diancam dengan dua pilihan. Atau tinggalkan Islam dan kembali memeluk agama keluarga, atau pergi dari rumah. Martinez memilih meninggalkan rumah.

''Persoalannya lebih kepada budaya,'' kata Martinez, mengenang. ''Mereka merasa asing dengan saya, apalagi ketika tahu bahwa saya tak pernah lagi datang ke gereja.'' Ia sendiri kini merasa tenteram dalam keluarganya. Hanya satu hal dari dunianya yang lama yang masih membuatnya kehilangan -- berenang. Tetapi tidak sepenuhnya, karena saat ini pun Martinez mengaku masih bisa berenang dalam kolam renang di rumahnya sendiri. Atau kalaupun di luar rumah, sebelumnya ia memastikan bahwa temannya berenang semuanya wanita di sebuah kolam renang yang tertutup.

Keinginan untuk lebih dekat dengan pencipta, membuat Margareth Ellis berganti keyakinan. Menurut Ellis, di Panama, negara asalnya, Katolikisme yang berkembang, jauh dari religius. ''Padahal saya ingin memiliki hubungan yang dalam dengan Tuhan,'' kata Ellis. Tidak hanya itu, di AS, Ellis merasa terkucil. Sebagai wanita latin berkulit hitam, ia merasa warga Afro-Amerika pun tidak sepenuhnya bisa menerimanya. ''Saat saya berinteraksi dengan komunitas muslim, saya justru merasa nyaman. Mereka umumnya tak mempersoalkan darimana asal Anda, apa warna kulit Anda,'' kata Ellis yang kini mengubah nama menjadi Farhahnaz Ellis.

Sempat juga setelah Elllis berganti agama, bibinya sempat bertanya, ''Bagaimana mungkin kamu dapat meninggalkan kepercayaan ibu-bapakmu?'' Ellis tidak merasa perlu menjawab. Dengan beralih agama, kini identitasnya sebagai orang Latin --sebagaimana mualaf latin lainnya --tak nampak sudah. Pernah suatu saat Ellis yang berpakaian hijab, melintasi dua orang wanita latin di pusat kota. Kontan kedua wanita itu berkata keras dalam bahasa Spanyol, mengatai dirinya. ''Lihat,'' kata mereka, ''Wanita itu sinting, betapa panasnya.'' Tentu saja, Ellis yang berperawakan tinggi langsing, langsung menemui mereka dan membalas dengan bahasa Spanyol. ''Mereka langsung pergi,'' kata Ellis.

Ada berkah lain yang dialami Jackie begitu dirinya masuk Islam. Sebelumnya, Jackie selalu saja digoda pria-pria pekerja kasar, manakala lewat melintasi mereka. ''Oy, mamacita!'' teriak mereka, sambil bersiul. Setelah masuk Islam dan mengenakan hijab, hal itu tak pernah lagi ia temui. ''Mereka kini diam, Alhamdulillah,'' kata Jackie. Menurut para mualaf itu, tantangan terbesar sebenarnya keluarga. ''Saya baru berani memberi tahu ayah setelah dua bulan berganti kepercayaan,'' kata Jackie. Memang, saat itu ayahnya masih mencoba memengaruhinya untuk kembali. Namun ia segera sadar, putrinya telah memiliki tekad yang kuat untuk berubah.
------------------

Tulisan Senada :






  • Tidak ada komentar:

    Posting Komentar