Jumat, 16 Desember 2011

Kriteria Imam Dalam Shalat

 

Akibat jauhnya masyarakat dari ilmu syariat, maka sering kita jumpai di masjid-masjid seseorang diangkat menjadi imam shalat padahal sebetulnya dia tidak layak untuk tugas itu. Mereka mengangkatnya hanya karena ia lebih tua atau karena kedudukannya di masyarakat ataupun karena kekayaannya semata.

Lalu bagaimana kriteria imam shalat berdasarkan tuntunan syariat?

Yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya [1], yang mengetahui hukum-hukum shalat [2]. Kalau kemampuannya setara, maka dipilih yang paling dalam ilmu fiqihnya. Kalau ternyata kemampuannya juga setara, maka dipilih yang lebih dahulu hijrahnya. Kalau ternyata dalam hijrah juga sama, maka dipilih yang lebih dahulu masuk Islam. Dasarnya adalah hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Qur’annya [3]. Kalau dalam Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang ajaran Sunnah. Kalau dalam sunnah juga sama, dipilih yang lebih dahulu berhijrah [4]. Kalau dalam berhijrah juga sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam.”

Dalam riwayat lain disebutkan:
“… yang paling tua usianya… [5]” “Janganlah, seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasaannya [6], dan janganlah ia duduk di rumah orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan untuk tuan rumah tersebut tanpa seizinnya [7].”

Dalam lafazh lain disebutkan:
“Satu kaum hendaknya diimami oleh orang yang paling pandai membaca Al-Qur’an di antara mereka dan yang paling berpengalaman membacanya. Kalau bacaan mereka sama….” [8]

Adapun hadits Malik bin Al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
“Apabila datang waktu shalat, hendaknya salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan dan salah seorang di antara kalian yang paling tua usianya menjadi imam.” [9]

Di sini dipilih yang paling tua, karena dalam semua kriteria dan persyaratan lainnya mereka setara. Karena mereka semua pernah berhijrah bersama-sama. Dan mereka menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan menyertainya selama duapuluh malam, sehingga dalam hak sebagai imam juga sama. Maka yang tersisa untuk diambil sebagai kriterianya adalah faktor usia. [10]

Jadi ada lima tingkatan; pertama, didahulukan yang terbaik bacaannya, lalu yang paling ahli di bidang hadits Nabi, baru yang paling dahulu melakukan hijrah, lalu yang paling pertama masuk Islam, baru yang paling tua usianya. [11]

Bolehkah Meminta Posisi sebagai Imam dalam Shalat?

Meminta posisi sebagai imam dalam shalat, bila disertai dengan niat yang tulus tidak menjadi masalah, berdasarkan hadits Utsman bin Abil Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa ia pernah berkata: “Wahai Rasulullah, jadikanlah saya sebagai imam kaumku.” Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Engkau kuangkat sebagai imam, dan perhatikanlah orang yang paling lemah di antara kalian, pilihlah muadzin yang tidak mengambil upah dari adzannya.” [12]

Hadits tersebut menunjukkan dibolehkannya meminta posisi sebagai imam dalam kebaikan. Diriwayatkan dalam doa hamba-hamba Ar-Rahman yang digambarkan oleh Allah shallallahu ‘alaihi wassalam dengan berbagai kriteria yang bagus sekali, bahwa mereka berkata:
“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa….” (Al-Furqan: 74)

Yang demikian itu bukanlah termasuk meminta kepemimpinan yang dilarang dan dibenci dalam Islam. Karena yang dilarang itu adalah yang berkaitan dengan meminta kepemimpinan dalam keduniaan, di mana orang yang memintanya tidak akan mendapatkan pertolongan Allah, dan orang yang memintanya tidak berhak untuk mendapatkannya. [13]

Kalau niat sudah tulus dan keinginan sudah kuat untuk ditunaikannya kewajiban serta dalam rangka mengajak ke jalan Allah ‘Azza wa Jalla, maka tidak ada larangan untuk meminta posisi sebagai imam.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Catatan kaki:
[1] Yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya, artinya bisa juga yang paling banyak hafalannya. Ada juga yang berpendapat bahwa artinya adalah yang paling bagus tajwidnya dan paling bagus mutu bacaannya. Namun yang paling benar adalah pendapat pertama, berdasarkan hadits Amru bin Salamah. Dalam riwayat itu ditegaskan: “… hendaknya mengimami kalian orang yang paling banyak hafalan Qur’annya.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dengan nomor 4302. Juga berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri. Dalam riwayat itu ditegaskan: “Yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling bagus bacaan Qur’annya…”

 Diriwayatkan oleh Muslim nomor 762. Artinya, yang paling banyak hafalannya. Akan tetapi kalau mereka sama dalam hafalan Qur’an di mana seluruh orang yang shalat atau yang akan dimajukan sebagai imam telah hafal Qur’an, baru dipilih yang paling mantap dan bagus bacaannya. Karena itulah arti yang paling bagus Qur’annya bagi mereka semua yang dalam hafalan sama. Lihat Al-Mufhim oleh Al-Qurthubi II: 297, juga Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah II: 14 serta Nailul Authar oleh Asy-Syaukani II: 390.

[2] Yang mengerti hukum-hukum shalat, yakni mengerti syarat-syaratnya, rukun-rukun, kewajiban dan hal-hal yang membatalkannya serta hukum-hukum lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan: “Sudah jelas bahwa dikedepankannya orang-orang yang paling pandai bacaan Qur’annya berarti ia juga orang yang paling mengerti kondisi shalatnya sendiri. Namun kalau ternyata ia tidak mengerti kondisi shalatnya, secara mufakat dikatakan bahwa ia tidak berhak dikedepankan.” Fathul Bari II: 171. Lihat Hasyiah Ibnu Qasim ‘Alar Raudhil Murbi’ II: 296 oleh Ibnu Utsaimin IV: 291.

[3] “Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Qur’annya,” menunjukkan secara tegas bahwa orang yang paling bagus bacaan Qur’annya didahulukan dari orang yang lebih dalam ilmu fiqihnya. Itu adalah madzhab Imam Ahmad, Abu Hanifah dan sebagian sahabat Imam Syafi’i. Imam Malik sendiri, juga Imam Syafi’i dan para sahabat beliau menyatakan: “Orang yang lebih dalam ilmu fiqih didahulukan dari orang yang lebih bagus bacaan Qur’annya. Karena bacaan yang dibutuhkan dalam shalat sudah tertentu, sementara yang harus diketahui tentang hukum shalat lebih luas lagi. Terkadang dalam shalat ada hal-hal yang hanya diketahui oleh orang yang sempurna ilmu pengetahuannya tentang fiqih shalat. Hanya saja dalam sabda Nabi: “Kalau dalam Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang paling nengerti tentang ajaran Sunnah,” menjadi dalil untuk mendahulukan orang yang lebih mahir dalam Qur’annya secara mutlak dari orang yang lebih mengetahui ajaran Sunnah. Yang benar, bahwa orang yang lebih mahir dalam Qur’annya memang didahulukan bila ia sudah mengetahui hukum-hukum shalatnya. (Lihat Syarah An-Nawaawi dari Shahih Muslim V: 178. Lihat Al-Mufhim ringkasan dari Kitab Muslim oleh Al-Qurthubi II: 297. Lalu Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah III: 11-12. Lihat juga Fathul Bari oleh Ibnu Hajar II: 171. Juga Nailul Authar oleh Asy-Syaukani Ii: 389. Juga Hasyiah Ibnu Qasim ‘Alar Raudhil Murbi’ II: 296. Lalu Asy-Syarhul Mumti’ oleh Ibnu Utsaimin IV: 289-291. Juga Subulus Salam oleh Ash-Shan’ani III: 95)

[4] “…Kalau dalam sunnah juga sama, dipilih yang lebih dahulu berhijrah…” Hijrah yang didahulukan dalam pemilihan imam tidaklah dikhususkan pada hijrah yang dilakukan oleh Nabi pada masa beliau. Tetapi yang dimaksud adalah hijrah yang tidak akan terputus hingga Hari Kiamat, sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadits dari negeri kafir ke negeri Islam demi menjalankan ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah. Maka orang yang lebih dahulu melakukan hijrah tersebut, didahulukan untuk menjadi imam, karena ia lebih dahulu melakukan ketaatan. Lihat Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah III: 15. Syarah Muslim oleh Imam An-Nawawi V: 179. Juga Nailul Authar oleh Asy-Syaukani II: 390. Juga Subulus Salam oleh Ash-Shan’ani II: 96.

[5] Yang paling dahulu keislamannya. Dalam riwayat lain disebutkan: yang paling tua usianya. Dalam riwayat lain: yang paling tinggi usianya. Usia di sini berkaitan dengan kemuliaan keislaman yang lebih dahulu. Dan riwayat yang menyebut “usia” bukan Islam. Kembalinya kepada usia keislaman. Karena orang yang lebih tinggi usianya berarti lebih lama keislamannya dibandingkan dengan yang lebih rendah usianya. (Lihat Al-Mufhim oleh Al-Qurthubi II: 298) Kami pernah mendengar Syaikh Ibnu Baz ketika beliau mengupas Bulughul Maram hadits nomor 436: “Orang yang lebih tua usianya, berarti lebih tinggi usia keislamannya. Terkecuali apabila mereka itu kafir, baru kemudian masuk Islam. Bahkan yang lebih dahulu keislamannya sama dengan yang lebih dahulu berhijrah…” (Lihat Syarah Muslim oleh An-Nawawi II: 390, Subulus Salam oleh Ash-Shan’ani III: 96, juga Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah III: 15)

[6] Seseorang dilarang untuk mengimami orang lain dalam kekuasaannya, yakni dalam wilayah kekuasaannya. Yakni wilayah yang menjadi milik atau berada di bawah kekuasaannya. Termasuk di antaranya pemilik suatu rumah atau majelis, imam masjid, dan yang paling tinggi kekuasaannya adalah Pemimpin Besar kaum muslimin. Karena kekuasaannya luas. Pemilik satu tempat lebih berhak untuk menjadi imam di tempat tersebut. Bila ia ingin, ia bisa menjadi imam, tetapi kalau ia ingin ia bisa menyerahkannya kepada siapa saja yang ia kehendaki, meskipun orang yang dikedepankan itu tidak lebih utama dari seluruh makmum yang ada. Karena itu adalah kekuasaannya, sehingga ia bisa memperlakukannya sesuka hatinya. Seorang pemimpin didahulukan daripada imam masjid dan pemilik rumah. Dan disunnahkan bagi pemilik rumah untuk memberikan izin keimamannya kepada orang yang lebih baik daripadanya. (Lihat Al-Mufhim oleh Al-Qurthubi II: 299, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah III: 42. Syarah Muslim oleh Imam An-Nawawi V: 180. Juga Nailul Authar oleh Asy-Syaukani II: 391. Juga Subulus Salam oleh Ash-Shan’ani II: 97 dan Syarhul Mumti’ oleh Ibnu Utsaimin IV: 299)

[7] Tidak duduk di atas tempat duduk khusus, milik tuan rumah kecuali dengan seizin tuan rumah, yakni kecuali bila ia memberikan izin, atau dengan izinnya. Yang dimaksudkan menggunakan milik tuan rumah, yakni dengan menggunakan alas atau semua yang digelar untuk tuan rumah secara pribadi. Alasan larangan tersebut adalah karena dilarang seseorang menggunakan milik orang lain kecuali dengan seizinnya. Hanya saja di sini dikhususkan karena banyak orang yang menggampang-gampangkan duduk di atasnya “takramah”. Kalau diduduki saja dilarang, tentu membawa dan menjualnya juga haram. Lihat Al-Mufhim oleh Al-Qurthubi II: 299. Lihat juga Syarah Muslim oleh An-Nawawi V: 180.

[8] Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Al-Masajid wa Mawadhi’ush Shalah, bab: Orang yang paling berhak menjadi imam dengan nomor 373.

[9] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Adzan, bab ucapan: Orang yang berkata: “Hendaknya dalam perjalanan salah seorang menjadi muadzin, nomor 628. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Al-Masajid wa Mawadhi’ush Shalah, bab: Siapakah yang paling berhak menjadi imam, nomor 674.

[10] Lihat Syarah Muslim oleh An-Nawawi V: 181, dan Al-Mufhim oleh Al-Qurthubi II: 301.
[11] Asy-Syarhul Mumti’ IV: 296.
[12] Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan nomor 531. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dengan nomor 209. Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dengan nomor 672. Telah ditakhrij sebelumnya dalam kitab tentang adzan, adab-adab adzan. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil V: 315.
[13] Lihat Subulus Salam oleh Ash-Shan’ani II: 86. Lihat juga Al-Manhal Al-Adzb Al-Maurud Fi Syarhi Sunan Abu Daud oleh Syaikh Mahmud bin Muhammad bin Khattab As-Subki IV.

Sumber: Imam dalam Shalat Menurut Al-Qur’an & As-Sunnah karya Dr. Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, penerjemah: Abu Umar Basyir, penerbit: Pustaka An-Najiyah, Jkt. Cet. 1 Dzulhijjah 1423 H / Februari 2003, hal. 12-18. sumber website : JURNAL SALAFIYYUN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar