Kamis, 08 Desember 2011

JUDUL: PROF ABDUS SALAM, HARGA DIRI SEORANG MUSLIM


"Dunia merugi karena Abdus Salam hanya dapat hidup sekali." Kalimat ini ditulis 20 tahun silam, oleh Newa Scientist (edisi 26 Agustus 1976), tiga tahun sebelum Salam memperoleh Nobel. New Scientist adalah majalah bereputasi tinggi yang diabadikan bagi sains dan teknologi, dan pengaruhnya bagi dunia dan kehidupan umat manusia.

Yang membuat pernyataan itu keluar, adalah rasa hormat sekaligus keprihatinan pada Abdus Salam yang mesti pontang-panting bergerak dari satu dunia ke dunia lain yang sama-sama dicintainya. Abdus Salam adalah manusia yang hidup di tiga dunia: dunia fisika teori, dunia Islam, dan dunia kerja-sama internasional. Andai Abdus Salam dapat hidup beberapa kali, dan mengabdikan hidup-hidupnya itu secara total tanpa interupsi masing-masing pada fisika teori, Islam, dan kerja-sama internasional, seluruh dunia jelas akan mendapatkan keuntungan besar.

Tentang kontribusi Salam pada fisika teori, tak ada lagi yang perlu diragukan. Hadiah Nobel yang ia bagi bersama dengan Sheldon Lee Glashow dan Steven Wienberg, adalah pengakuan atas kontribusinya dalam menyatukan gaya elektromagnetik dan gaya nuklir lemah. Penyatuan itu, kini sudah mencapai status 'touchstone' dan disebut sebagai 'model standar' fisika partikel. Yang jarang diketahui orang, beberapa tahun sebelum penyusunan teori medan terpadu di atas, Salam sudah nyaris mendapat hadiah Nobel untuk teori dua komponen neutrino.

Pendirian ICTP (International Cetre for Theoretical Phyusics) di Trieste, Italia, menurut Herwing Schopper, presiden Masyarakat Fisika Eropa, merupakan salah satu pencapaian terbesar abad ini. Bisa dikatakan bahwa pendirian ICTP ini adalah wujud nyata dari obsesi Salam atas pengembangan sains di dunia ke tiga. Sejak lama Abdus Salam menginginkan adanya tempat di mana para fisikawan dunia ketiga dapat terlibat dalam pergulatan sains mutakhir, tanpa harus meninggalkan negerinya sendiri, seperti yang dengan pahit terpaksa harus dialami oleh Salam sendiri.

Di tahun 1951, seusai menggondol PhD-nya pada usia 26, Salam meninggalkan almamaternya University of Cambridge, menuju tanah air yang tiga tahun sebelumnya memproklamirkan diri sebagai Pakistan. Pemerintah Pakistan mengangkat pemuda dari keluarga menengah bawah ini sebagai Profesor di Government College, Lahore. Bersamaan dengan itu, ia juga diankgat sebagai Kepala Departemen Matematika Universitas Punjab. Namun, di negeri kelahirannya ini, Salam tidak menemukan tradisi kerja dan riset post-graduate. Tak ada jurnal, tak ada kesempatan untuk menghadiri konferensi.

Kepala institusi tempat Abdus Salam bekerja, meski tahu bahwa Salam sudah mengerjakan sejumlah riset, menganjurkan pada profesor muda itu untuk melupakannya saja. Ia menawari Salam tiga pilihan pekerjaan tambahan: bendaharawan, pengurus rumah tangga aula kampus atau lurah klub sepak bola. Salam memilih yang terakhir.

Setelah bertahan di Lahore selama tiga tahun, Salam terpaksa mengakui: segenap situasi umum masyarakat Pakistan waktu itu sangat tidak mendukung kemungkinan keberlanjutan riset-riset fisika. Salam tersudut pada satu dilema tragis: fisika atau Pakistan. Pada tahun 1954, Salam kembali ke Cambridge, menjemput tawaran mengajar dan riset yang sudah lama diberikan.

Di Cambridge dan kemudian juga di Imperial College, London, Salam meneruskan percintaannya yang sempat terputus dengan riset dan fisika teori. Tapi meski fisika adalah cinta pertamanya, dan meski kerajaan Inggris telah memberinya segala yang ia perlukan untuk menikmati dan menghasilkan buah dari percintaan itu, Salam masih harus "menyeleweng" membagi waktu dengan cintanya yang lain.

Terpanggang oleh ketakbahagiaannya meninggalkan negerinya, Salam selalu mencari jalan agar orang-orang seperti dirinya yang berasal dari dunia ketiga, dapat terus bekerja di negerinya masing-masing, namun tetap berpeluang lebar untuk menjadi ilmuwan peringkat puncak. Salam sangat yakin, seperti halnya negara-negara maju, negeri-negeri berkembang pun butuh ilmuwan yang bagus, yang tentunya tertata dalam sistem universitas.

Dengan reputasinya yang mulai membubung, Salam lalu mendesak kolega-kolega Eropa dan Amerikanya untuk mendirikan lembaga seperti yang diimpikannya itu. Atas bantuan PBB, khususnya Lembagai Energi Atom Internasional, pada tahun 1964 berdirilah ICPT tadi di Trieste, Italia. Pakistan sebenarnya juga berpeluang memperoleh kehormatan itu, tapi tampaknya tidak tertarik.

Di Italia Abdus Salam mendirikan dan memimpin sebuah bentangan kompleks bangunan yang secara reguler dikunjungi oleh para ilmuwan yang terlibat riset dari 50-an negara berkembang. Pada tahun 1983, Salam kemudian mendirikan dan menjadi presiden The Third World Academy of Sciences, dan presiden pertama The Third World Network of Scientific Orgranizations (1988).

Kecintaan Salam pada umat Islam Pakistan, pada umat Islam di dunia, tak pernah pupus. Sepanjang hayatnya, ia terus-menerus mendorong penguasaan sains dan penciptaan pengetahuan ilmiah di negeri-negeri muslim.

Menang, seribu tahun yang lalu, ketika Eropa masih terlelap dalam Abad Kegelapan, ilmuwan Islam seperti Al-Hazen atu Al-Biruni, sudah menghidupkan metode ekperimental, yang tak pernah dikenal oleh para pemikir besar Yunani. Metode yang kemudian menjadi dasar pembangunan sains modern ini, memang membawa dunia Islam pada puncak kegemilangan peradabannya. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa sains modern sekarang ini, yang telah dikembangkan jauh oleh Barat, tak lain adalah sebuah benih warisan Greko-Islam. Dengan mengutip Briffault, Salam menegaskan: Sains modern, setidaknya metode eksperimental, merupakan kontribusi paling monumental dari Peradaban Islam.

Tetapi kini, tak diragukan lagi bahwa dari seluruh peradaban di planet ini, sains menempati posisi yang paling lemah di dunia Islam. Itu memang merisaukan siapa pun karena kelangsungan hidup suatu masyarakat pada zaman ini secara langsung tergantung pada penguasaannya atas sains dan teknologi.

Lewat karyanya, Salam menunjukkan, bahwa orang Islam masih sanggup membayar utang kebudayaan itu. Lagi pula, sudah ada sejumlah penguasa dan pemilik kekayaan dari negeri-negeri Islam yang tergerak memberi perhatian lebih seksama terhadap pengembangan sains dan teknologi.

Salam sudah berangkat menuju Yang Maha Esa di usia 70 tahun. Ia dimakamkan di tanah air yang teramat sangat dicintainya. Kita yang ditinggalkannya kini hanya dapat bertanya, benarkah kita juga punya rasa harga diri religius, seperti rasa harga diri yang menggerakkan tokoh yang teramat dihormati oleh komunitas sains internasional ini? Yang pasti, penerima gelar Doktor Sains Honoris Causa dari 39 universitas/lembaga ilmiah dari seluruh dunia ini, yang sekali waktu pernah menyebut dirinya sebagai penerus ilmuwan muslim seribu tahun yang silam, telah menyatakan dengan tegas: harga diri suatu umat kini tergantung pada penciptaan prestasi ilmiah dan teknologis.

Harga diri itu, seperti yang telah dibuktikan oleh Salam sendiri bukan saja dapat mengangkat suatu masyarakat sejajar dengan masyarakat lain. Gerakan dan keikutsertaan mencipta sains teknologi akan memberikan kontribusi pada peningkatan harkat seluruh umat manusia, tanpa melihat agama dan asal-usul kebangsaannya. Itulah rahmatan lil alaamin.

Selamat jalan Profesor Salam. (Ditulis oleh: Nirwan Ahmad Arsuka, alumnus Teknik Nuklir FT-UGM, bekerja di Paramadina Mulya, Jakarta).

KOMPAS, Jumat, 29 November 1996 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar